Kota Pasuruan, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Terletak sekitar 75 km sebelah tenggara Kota Surabaya, Kota Pasuruan berbatasan dengan Selat Madura di sebelah utara, serta Kabupaten Pasuruan di sebelah timur, selatan, dan tengah. Kota Pasuruan terdiri dari tiga kecamatan 34 kelurahan. Wah asyik nech,. saya akan mengulas sedikit tentang Kota ku yang saya beri judul PASURUAN KOTAKU INDAH
Pasuruan
adalah sebuah kota pelabuhan kuno. Pada zaman Kerajaan Airlangga,
Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan "Paravan" . Pada masa lalu,
daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Letak geografisnya yang
strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar perdagangan antar pulau
serta antar negara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan
untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat kemajemukan bangsa dan suku bangsa
di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai.
" JASA
BESAR UNTUNG SURAPATI "
Pasuruan yang dahulu disebut Gembong
merupakan daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur yang
beragama Hindu. Pada dasawarsa pertama abad XVI yang menjadi raja di Gamda
(Pasuruan) adalah Pate Supetak, yang
dalam babad Pasuruan disebutkan sebagai pendiri ibukota Pasuruan.
Menurut kronik Jawa tentang
penaklukan oleh Sultan Trenggono dari Demak, Pasuruan berhasil ditaklukan pada
tahun 1545. Sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di
ujung timur Jawa.
Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan
yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat
direbut oleh Pasuruan.
Pada tahun 1617-1645 yang berkuasa
di Pasuruan adalah seorang Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede
Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho I. Berikutnya Pasuruan mendapat serangan dari Kertosuro sehingga Pasuruan jatuh dan Kiai
Gedee Kapoeloengan melarikan diri ke Surabaya
hingga meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Bibis
(Surabaya).
Selanjutnya yang menjadi raja adalah
putra Kiai Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II (1645-1657). Pada tahun 1657 Kiai Gedee Dermoyudho II
mendapat serangan dari Mas Pekik (Surabaya), sehingga Kiai Gedee
Dermoyudho II meninggal dan dimakamkan di Kampung Dermoyudho,
Kelurahan Purworejo,
Kota Pasuruan. Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) hingga
meninggal dunia pada tahun 1671 dan diganti oleh putranya, Kiai Onggojoyo dari
Surabaya (1671-1686).
Kiai Onggojoyo kemudian harus
menyerahkan kekuasaanya kepada Untung Suropati.
Untung Suropati adalah seorang budak belian yang berjuang menentang Belanda, pada saat itu Untung Suropati sedang berada di Mataram
setelah berhasil membunuh Kapten Tack.
Untuk menghindari kecurigaan Belanda, pada tanggal 8 Februari
1686,
Pangeran Nerangkusuma
yang telah mendapat restu dari Amangkurat I
(Mataram) memerintahkan Untung Suropati berangkat ke Pasuruan untuk menjadi
adipati (raja) dengan menguasai daerah Pasuruan dan sekitarnya.
Untung Suropati menjadi raja di
Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro. Selama 20 tahun pemerintahan Suropati (1686-1706) dipenuhi
dengan pertempuran-pertempuran melawan tentara Kompeni Belanda. Namun demikian
dia masih sempat menjalankan pemerintahan dengan baik serta senantiasa
membangkitkan semangat juang pada rakyatnya.
Pemerintah Belanda terus berusaha
menumpas perjuangan Untung Suropati, setelah beberapa kali mengalami kegagalan.
Belanda kemudian bekerja sama dengan putra Kiai Onggojoyo yang juga bernama
Onggojoyo untuk menyerang Untung Suropati. Mendapat serangan dari Onggojoyo
yang dibantu oleh tentara Belanda, Untung Suropati terdesak dan mengalami luka
berat hingga meninggal dunia (1706). Belum diketahui secara pasti dimana letak
makam Untung Suropati, namun dapat ditemui sebuah petilasan berupa gua tempat
persembunyiannya pada saat dikejar oleh tentara Belanda di Pedukuhan Mancilan,
Kota Pasuruan.
Sepeninggal Untung Suropati kendali
kerajaan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan
perjuangan sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).
Onggojoyo yang bergelar Dermoyudho
(IV) kemudian menjadi Adipati Pasuruan (1707). Setelah beberapa kali berganti
pimpinan pada tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro.
Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan, yang menjadi
patihnya adalah Kiai Ngabai Wongsonegoro.
Suatu ketika Belanda berhasil
membujuk Patih Kiai Ngabai Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden
Ario Wironegoro. Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan
di Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota
bandar yang cukup penting sehingga menjadikannya sebagai ibukota karesidenan
dengan wilayah: Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Bangil.
Karena jasanya terhadap Belanda,
Kiai Ngabai Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro.
Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari selir Kanjeng
Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang
merupakan keturunan dari Sunan Ampel,
Surabaya. Pada saat dihadiahkan, Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia
kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Groedo. Saat
Kiai Ngabai Wongsonegoro meninggal dunia, Raden Groedo yang masih berusia 11
tahun menggantikan kedudukannya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal 27 Juli
1751).
Adipati Nitiadiningrat menjadi
Bupati di Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8 November
1799).
Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian,
setia kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya
besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar
bersama-sama Kiai Hasan Sanusi
(Mbah Slagah).
Raden Beji Notokoesoemo menjadi
bupati menggantikan ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari
1800
dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809, Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan
oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Raden
Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari
1833
dan dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar. Penggantinya adalah Raden Amoen
Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli
1887.
Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh
masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.
Pemerintahan Pasuruan sudah ada
sejak Kiai Dermoyudho I
hingga dibentuknya Residensi Pasuruan pada tanggal 1 Januari
1901.
Sedangkan Kotapraja (Gementee) Pasuruan terbentuk berdasarkan Staatblat 1918
No.320 dengan nama Stads Gemeente Van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni
1918.
Sejak tanggal 14 Agustus
1950
dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa
dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 Desember
1982
Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15
desa. Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan
terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya
Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan
Untung Suropati
(lahir di Bali, 1660 – meninggal dunia di Bangil, Jawa Timur, 5 Desember
1706 pada umur 45/46 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia
yang berjuang di Pulau Jawa. Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan
nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3
November 1975.
Asal-Usul Si Untung
Untung Suropati, Nama aslinya tidak diketahui. Menurut Babad Tanah Jawi ia berasal dari Bali yang ditemukan oleh Kapten van Beber, seorang perwira VOC yang ditugaskan di Makasar.
Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia
yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru, karier dan kekayaan Moor
meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga
diberi nama Si Untung.
Ketika Untung berumur 20 tahun, ia dimasukkan penjara oleh Moor
karena berani menikahi putrinya yang bernama Suzane. Untung kemudian
menghimpun para tahanan dan berhasil kabur dari penjara dan menjadi
buronan.
Mendapat Nama Surapati
Pada
tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten dikalahkan VOC. Putranya
yang bernama Pangeran Purbaya melarikan diri ke Gunung Gede. Ia
memutuskan menyerah tetapi hanya mau dijemput perwira VOC pribumi.
Kapten
Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura) berhasil menemukan kelompok Untung.
Mereka ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC daripada hidup sebagai
buronan. Untung pun dilatih ketentaraan, diberi pangkat letnan, dan
ditugasi menjemput Pangeran Purbaya.
Untung
menemui Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Tanjungpura. Datang pula
pasukan Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan Pangeran Purbaya dengan
kasar. Untung tidak terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai
Cikalong, 28 Januari 1684.
Pangeran
Purbaya tetap menyerah ke Tanjungpura, tapi istrinya yang bernama Gusik
Kusuma meminta Untung mengantarnya pulang ke Kartasura. Untung kini
kembali menjadi buronan VOC. Antara lain ia pernah menghancurkan pasukan
Jacob Couper yang mengejarnya di desa Rajapalah.
Ketika melewati Cirebon,
Untung bertengkar dengan Raden Surapati anak angkat sultan. Setelah
diadili, terbukti yang bersalah adalah Suropati. Surapati pun dihukum
mati. Sejak itu nama Surapati oleh Sultan Cirebon diserahkan kepada Untung.
Terbunuhnya Kapten Tack
Untung
alias Suropati tiba di Kartasura mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma
pada ayahnya, yaitu Patih Nerangkusuma. Nerangkusuma adalah tokoh anti
VOC yang gencar mendesak Amangkurat II agar mengkhianati perjanjian
dengan bangsa Belanda itu. Nerangkusuma juga menikahkan Gusik Kusuma
dengan Suropati.
Kapten
François Tack (perwira VOC senior yang ikut berperan dalam penumpasan
Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa) tiba di Kartasura bulan Februari
1686 untuk menangkap Suropati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi
Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC.
Pertempuran pun meletus di halaman keraton. Pasukan VOC hancur. Sebanyak 75 orang Belanda
tewas. Kapten Tack sendiri tewas di tangan untung suropati.Tentara
Belanda yang masih hidup menyelamatkan diri ke benteng mereka.
Bergelar Tumenggung Wiranegara
Amangkurat II takut pengkhianantannya terbongkar. Ia merestui Suropati dan Nerangkusuma merebut Pasuruan.
Di kota itu, Suropati mengalahkan bupatinya, yaitu Anggajaya, yang
kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati Surabaya bernama Adipati
Jangrana tidak melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah kenal dengan
Suropati di Kartasura.
Untung Suropati pun mengangkat diri menjadi bupati Pasuruan bergelar Tumenggung Wiranegara.
Pada tahun 1690 Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan. Tentu saja pasukan ini mengalami kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai usaha mengelabui VOC
Kematian Untung Suropati
Sepeninggal
Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan takhta Kartasura antara
Amangkurat III melawan Pangeran Puger. Pada tahun 1704 Pangeran Puger
mengangkat diri menjadi Pakubuwana I dengan dukungan VOC. Tahun 1705
Amangkurat III diusir dari Kartasura dan berlindung ke Pasuruan.
Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura, dan Surabaya dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu Pasuruan.
Pertempuran di benteng Bangil akhirnya menewaskan Untung Suropati alias
Wiranegara tanggal 17 Oktober 1706. Namun ia berwasiat agar kematiannya
dirahasiakan.
Makam Suropati pun dibuat rata dengan tanah. Perjuangan dilanjutkan putra-putranya dengan membawa tandu berisi Suropati palsu.
Pada
tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar
Amangkurat III. Ia menemukan makam Suropati yang segera dibongkarnya.
Jenazah Suropati pun dibakar dan abunya dibuang ke laut.
Perjuangan Putra-Putra Suropati
Putra-putra Untung Suropati, antara lain Raden Pengantin, Raden
Suropati, dan Raden Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran
orang Jawa dan Bali). Sebagian dari mereka ada yang tertangkap bersama Amangkurat III tahun 1708 dan ikut dibuang ke Srilangka.
Sebagian
pengikut Untung Suropati bergabung dalam pemberontakan Arya Jayapuspita
di Surabaya tahun 1717. Pemberontakan ini sebagai usaha balas dendam
atas dihukum matinya Adipati Jangrana yang terbukti diam-diam memihak
Suropati dalam perang tahun 1706.
Setelah
Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke Mojokerto, pengikut Suropati
masih setia mengikuti. Mereka semua kemudian bergabung dalam
pemberontakan Pangeran Blitar menentang Amangkurat IV yang didukung VOC
tahun 1719. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan tahun 1723.
Putra-putra Untung Suropati dan para pengikutnya dibuang VOC ke
Srilangka.
Untung Suropati dalam Karya Sastra
Kisah Untung Suropati yang legendaris cukup banyak ditulis dalam bentuk sastra. Selain Babad Tanah Jawi, juga terdapat antara lain Babad Suropati.
Penulis Hindia Belanda Melati van Java (nama samaran dari Nicolina Maria Sloot) juga pernah menulis roman berjudul Van Slaaf Tot Vorst, yang terbit pada tahun 1887. Karya ini kemudian diterjemahkan oleh FH Wiggers dan diterbitkan tahun 1898 dengan judul Dari Boedak Sampe Djadi Radja. Penulis pribumi yang juga menulis tentang kisah ini adalah sastrawan Abdul Muis dalam novelnya yang berjudul Surapati.
.
Kepustakaan
- Abdul Muis. 1999. Surapati. cet. 11. Jakarta: Balai Pustaka
- Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
3 komentar:
Kota pasuruan keren habis
Kota pasuruan keren habis
SEMOGA TAMBAH BERKAH DAN MASLAHAH AMIN
Posting Komentar